MENEGUHKAN PANCASILA SEBAGAI RUMAH BERSAMA

SEMUA UMAT BERAGAMA”

by : an_falah

Maraknya kekerasan yang diatasnamakan agama  yang merupakan representasi  dari spirit keagamaan yang berlebihan berimplikasi negativ pada obyek atau korban yang  tak bersalah.Dalam hal ini saya mencontohkan 4 peristiwa yang tak terlupakan:

-          Penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di cekiusik, Banten(7 Februari2011)

-          Kerusuhan dan pembakaran gereja gereja di Temanggung (8 Februari 2011)

-          Terputusnya tangan polisi akibat bom buku di Utan Kayu Jakarta Timur (Maret 2011)

-          Bom bunuh diri muhammad syarif di Masjid yang berada dilingkungan Polres Cirebon (15 April 2011)

Yangmana berita tersebut ditayangkan berulang kali baik di media masa ataupun media cetak. Ada seorang ibu ibu yang menangis pilu karena kehilangan anaknya serta  menyaksikan rumahnya yang rata dengan tanah dan anak kecil yang menangis histeris melihat orang tuanya dipukuli, juga seorang istri yang meneteskan air ketika diwawancarai salah satu televisi karena tidak bisa menjenguk suaminya,dan tidak jarang sikap negara dan aparatnya yang terkesan membiarkan.

           

Nampaknya kekerasan agama selalu dianggap fenomena baru sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Akibatnya tanggapan dan respon atas kekerasan agama tidak berdasarkan atas pengetahuan dan kesadran kolektif, sehingga yang dilakukan adalah tak ubahnya pemadaman kebakaran, maka penyikapan yang dilakukan akan terintegrasi dalam kehidupan dan kebijakan sosial. Padahal, sebenarnya negara dan aparaturnya memiliki kamampuan untuk mencegah terjadinya kekerasan, karena kekerasan agama yang terjadi bukan fenomena baru yang muncul dengan tiba tiba, tapi fenomena yang selalu terulang yang sebenarnya dapat dihindari jika ada kemauan.

Secara garis besar ada dua dampak dari kegairahan beragama yang berlabihan.

-          pertama dalam konteks kemanusiaan, banyak orang yang kehilangan hak asasinya.

-          Kedua dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, menyebabkan disintegrasi atau mengancam keutuhan bernegara.

 

      Agama menjadi komoditas yang tidak saja menentramkan dan menentramkan pada satu sisi, tetapi juga menakutkan pada sisi lain. Agama yang sejatinya merupakan respon individual, seringkali mengalami reduksi ketika berhadapan dengan pengalaman kolektif yang mengalami proses institusionalisasi dalam bentuk pembakuan dan pembekuan agama. Akibtnya agama yang sejatinya hadir untuk membebaskan, membahagiakan, dan menentramkan  sering kali menjadi pemicu terjadinya ketidakadilan, kepedihan dan ketidaknyamanan.

     

Maraknya kasus kekerasan agama di Indonesia. seperti yang dilakukan Jamaah Ahmadiyah Indonesia dan bom bunuh diri di Polres Cirebon di tengah Jamaah shalat Jum`ad, secara jelas menunjukan bahwa kekerasan kekerasan yang dilakukan tidak serta merta dapat dilihat sebagai “penganiyayaan” sebagaimana dilakukan oleh sekawanan perampok terhadap korbanya,tetapi juga memiliki justifikasi kebenaran berdasarkan agama. Tetapi menurut keyakinan mereka kekerasan yang dilakukan merupakan panggilan agama. Dengan demikian, kekerasan agama memilki nuansa sakral yang merupakan pengejawatahan dari kepatuhan kepada tuhan. Pada sisi korban, kekerasan yang mereka alami terkadang diyakini sebagai ujian atas keyakinan mereka. Oleh karena itu tidak heran jika walaupun mereka mendapatkan kekerasan secara fisik dan psikis atas keyakinanyang mereka anut, mereka tetap kukuh untuk bertahan dengan ajaranya.          

Dari fenomena kekerasan agama ini kita dapat membangun sebuah pemahaman bahwa paska terjadinya kekerasan agama ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi baik pelaku maupu korban kekerasan. Misalnya mereka tetap bertahan dan semakin teguh dengan ajaranya karena mereka menganggap kekerasan sebagai ujian atas keimanan mereka dan kemungkinan berpindah.

     

Dalam konteks NKRI yang berideologi pancasila, kekerasan agama yang semakin marak dalam 10 tahun terahir harus disikapi secara serius. Jika dengan kekerasan untuk melakukan perubahan, maka agama sebagai warning atas negara kita. Tetapi ada dua hal yang harus kita perhatikan.

·         pertama demokrasisasi dalam  segala bidang yang dilahir reformasi 1998 ternyata membawa bangsa Indonesia berada pada jurang kehancuran.

·         Kedua Rumah pancasila terancam dibajak dan dimonopoli oleh kelompok agama tertentu

Kedua hal tersebut diatas menunjukan bahwa pancasila saat ini telah kehilangan tuahnya.Pancasila dipuji dalam kata, tetapi di ingkari dalam perbuatan. Oleh karena itu, yang menjadi tugas generasi saat ini adalah perjuangan untuk melakukan internalisasi nilai nilai pancasila kedalam norma, mekalisme dan praktek kehidupan publik dan menjadi kewajiban bagi para ilmuan sosial agama (religiososial scienctist) untuk mengkaji sifat sifat, penyebab, akibat, cara tanggap,dan dampak secara menyeluruh. Dengan cara ini, pancasila akan menjadi working ideology. Sehingga pancasila bukan hanya semata mata ruh, namun memiliki raga dalam kehidupan publik dan juga pancasila bukan lagi suatu yang abstrakmelaikan dirasakan hadir dalam realitas kehidupan sehari hari.

           

Menurut AA GN Ari Dwipayana (2010) ada 4 cara yang dilakukan

Ø  Memperbesar ruang keterlibatan masyarakat dalam proses politik-pemerintahan.

Ø  Perlu penguatan dan upaya memperdalam tingkat keterlibatan warga dalam proses politik-pemerintahan.

Ø  Warga perlu menempatakan diri sebagai critical engagment dalam proses politik-pemerintahan.

Ø  Perlu memperbarui strategi dalam prosesreclaming the state.

Dengan menjadikan pancasila sebagai working ideology, maka dalam diri setiap warga negara Indonesia akan memiliki paradikma berpikir pancasila, antara lain.     

Pertama setiap warga negara memiliki kesadaran pluralitas dalam beragama.

Kedua  perbedeaan beragama tidak harus berakhir dengan kekerasan.

Ketiga kekerasan agama sebagai kritik keagamaan.

 Keempat kekerasan agama bukan sesuatu yang terjadi tiba tiba  dan tidak terelakan,tetapi merupakan peristiwa yang berulang ulang.

Dan simpulnya kekerasan agama memiliki aspek yang mutidimensional. sehingga perlu usaha yang sungguh sunguh untuk memahaminya, baik dari sisi keragaman eksternalnya maupun kompleksitas internalnya. Juga dengan kekerasan agama dapat dijadikan sebagai kaca benggala kematangan. Sehingga dapat membangun paradikma baru. Dan yang terpenting untuk menjadi orang religius kita tidak perlu menghilangkan agama yakni kita dapat menjadi orang religius dengan tetap menjadi warga Negara yang baik dan loyal.